NUFFNANG ADS
GAHARU MALAYSIA
HARGA GAHARU
INVEST IN AGARWOOD GAHARU AS GOLD INVEST
GAHARU VIETNAM 2
IDENTIFY AGARWOOD
AGARWOOD SIAM MALACANSIS
GAHARU KIT
gaharu video
SINDIKET CURI GAHARU TUMPAS
SINDIKET CURI GAHARU TUMPAS 31 DIS 2011
GAHARU DIRAMPAS UPP
Aquilaria Crassna Pierre
Family: Thymelyaceae
Synonyms: none
Distribution and habitat
Uses
Dormancy and pretreatment
ADS LARGE REC AGARWOOD GAHARU LABUR
Sunday, July 25, 2010
GAHARU - WANGIAN DARI SYURGA , KOMODITI 12 ABAD AKAN DATANG
Senin, 31 Mei 2010 | 00:41 WIB
Gaharu adalah bahan aromatik termahal di dunia. Indonesia adalah eksportir gaharu nomor satu dunia. Namun, kuota ekspor Indonesia per tahun menurun drastis. Dari 456 ton (1999) tersisa hanya 30 ton (2000). Apakah kuota 2010 kembali menanjak? Tentu tidak. Penyebabnya yakni adanya penebangan pohon penghasil gaharu di hutan secara liar, tanpa ada upaya budi daya (peremajaan). Padahal, harga gaharu kualitas terbaik di pasar internasional berkisar Rp 5 juta s/d Rp 20 juta per kg. Bahkan pernah bertengger di Rp 100 juta per kg. Harga gaharu kelas paling rendah saja sekitar Rp 50 ribu per kg. Gaharu merupakan bahan baku untuk parfum elit, kosmetik mahal, obat-obatan (chemical content), dan ritual keagamaan.
Mahalnya harga gubal pohon gaharu tersebut menghipnotis banyak orang untuk berlomba membudi-dayakannya. Selain bernilai ekonomis tinggi, gaharu dapat tumbuh di hutan tropis. Seluruh komponen gaharu, dari akar hingga ujung daun memiliki harga tinggi. Namun, pengembangan spesies pohon gaharu saat ini belum banyak dikenal publik. Hanya orang tertentu saja yang sudah mengembangkannya. Padahal, budi daya gaharu dapat mendatangkan banyak uang dalam waktu relatif singkat. Apalagi pohon tersebut dapat tumbuh di pekarangan rumah. Petani bisa memiliki banyak kesempatan untuk menanamnya di pekarangannya.
Gaharu sudah dikenal sebagai komoditas termahal dan konsumsi raja-raja semenjak kerajaan kuno Mesir, Babilonia, Mesopotamia, Romawi, dan Yunani. Mumi-mumi di Mesir, selain diolesi kayu manis dan cengkeh, juga diberi minyak mur, minyak cendana, dan minyak gaharu. Dalam Alkitab, disebutkan bahwa kain kafan Sang Manusia Ilahi, Ilahi Manusia (Yesus Kristus) direciki aloe. Aloe yang dimaksud bukan aloevera (lidah buaya), melainkan gaharu. Karena itu, kayu gaharu disebut aloeswood (kayu aloe). Sinonim lainnya adalah agarwood, heartwood, dan eaglewood.
Di pasar internasional, gaharu diperdagangkan dalam bentuk kayu, serbuk, dan minyak. Kayu gaharu bisa dijadikan bahan kerajinan bernilai tinggi. Minyaknya merupakan parfum kelas atas. Dupa gaharu dapat dimanfaatkan untuk mengharumkan ruangan, rambut, tubuh, dan pakaian para bangsawan. Aroma gaharu digunakan sebagai bahan aromatherapy pada spa-spa elit di Jakarta untuk ramuan awet muda (anti aging).
Serbuk gaharu digunakan sebagai dupa (hio) untuk ritual keagamaan, seperti Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Tao, Shinto, Islam, dan Katolik. Kayu gaharu disebut sebagai kayu para dewa karena aromanya dipercaya bisa mentahirkan peralatan keagamaan. Bahkan, jikalau gaharu dibakar, maka roh-roh jahat akan hengkang dalam sekejab. Hanya roh-roh suci, bahkan orang kudus akan datang menghirup aroma surgawi itu. Mungkin hanya aroma gaharu yang layak mengitari tingkap-tingkap surga.
Selain untuk ritual keagamaan, parfum, kosmetik, dan obat-obatan, gaharu sering dikaitkan dengan mitis-magis, entah faedahnya maupun perburuannya di hutan. Hingga kini, pengambilan gaharu di belantara masih dilakukan secara tradisional, bahkan dibarengi ritual magis. Pencarian gaharu di lokasi sulit harus menggunakan pesawat terbang atau helikopter. Hilangnya beberapa pesawat terbang dan helikopter pencari gaharu di hutan Kalimantan memperkuat kesan mistiknya.
EQUATOR Development Advisor (EDAR) merupakan anggota Konsorsium 'Berlian Hijau' yang peduli akan kepunahan spesies gaharu, khususnya dan manfaat ekonomis tinggi, berupaya melakukan budi daya semua jenis gaharu yang ada di dunia (34 spesies) secara profesional serta ditunjang oleh kajian akademis dan para pakar gaharu dari IPB, UGM, LIPI, Badan Litbang Departemen Kehutanan, Institut Pertanian, dan lain-lain.
Dengan program Gerakan Gaharunisasi Nusantara (GEGANA), yang telah dideklarasikan bersama seluruh komponen bangsa hingga peserta dari Malaysia dan Brunei Darussalam di Magister Managemen UGM Yogyakarta, 9 Mei 2010, maka lembaga EDAR telah membentuk Komunitas Petani Gaharu (KOMPIGAR) di setiap desa untuk memulai program bersama pembudidayaan gaharu secara akademis-profesional dan menanggalkan nuansa magis-tradisional dan spiritual sempit tentang gaharu. Semua kelompok tersebut berafiliasi dengan Konsorsium 'Berlian Hijau'.
Sekitar sepuluh tahun, berbagai upaya sedang dilakukan lembaga EDAR untuk mendatangkan spesies gaharu ke NTT, di mana Flores sebagai pilot project dan basis 'EQUATOR Green Camp' di NTT. Identifikasi spesies dan jamur penghasil gaharu di NTT sudah diproses sejak beberapa waktu silam di IPB dan LIPI. Teknik pembenihan, inokulasi, distilasi, dan pemasaran ke manca negara merupakan kesatuan paket yang telah disiapkan lembaga EDAR.
Haruslah dicatat bahwa tidak semua pohon penghasil gaharu bisa menghasilkan gaharu kelas tinggi dan dibutuhkan pasar. Ada gaharu berkategori 'gaharu palsu' (black magic wood atau BMW) dan 'gaharu imitasi' (fake). Karena itu, lembaga EDAR hanya mengembangkan gaharu bergenus aquilaria sp dan gyrinops sp, yang terbukti bernilai ekonomis tinggi. Kedua genus tersebut memiliki kadar gaharu tertinggi dan disukai pembeli mancanegara, khususnya Timur Tengah.
Karena itu, genus aquilaria sp yang sedang dan akan dikembangkan terdiri dari aquilaria malaccensis, aquilaria agallocha, aquilaria secundana, aquilaria filaria, aquilaria beccariana, aquilaria hirta, aquilaria microcarpa, dan aquilaria crassna. Sedangkan genus gyrinops sp terdiri atas gyrinops versteegii, gyrinops rosbergii, gyrinops moluccana, dan gyrinops cuimingiana. Jadi, ada 12 spesies yang bisa dikembangkan di NTT.
Semua spesies pohon penghasil gaharu bisa tumbuh di lahan basah dan lahan kering dengan ketinggian 0 m dpl s/d. 1.000 m dpl (di atas permukaan laut). Walaupun termasuk tanaman yang tahan kekeringan, hidup di bawah naungan, seperti di bawah palem, pakis, mahoni, pisang, dan lain-lain yang membutuhkan kelembaban merupakan tempat favorit pohon tersebut.
Selain NTT sebagai sumber bibit gaharu untuk genus gyrinops versteegii dan gyrinops rosbergii, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa juga menyediakan spesies gaharu dengan harga bervariatif, yakni kisaran Rp 7.500- s/d Rp 50.000/polibag. Setiap hektar dapat ditanam sekitar 500 s/d 1.000 pohon gaharu dengan jarak tanam sekitar 3 m x 3 m. Usia pohon 7 tahun s/d 9 tahun mampu menghasilkan gubal sekitar 2 kg kelas 'super' per pohon.
Penentuan harga bergantung pada kualitas gaharu. Gaharu kualitas rendah laku dijual Rp 5 juta per kg. Sedangkan untuk gubal gaharu berwarna hitam atau kualitas terbaik laku dijual Rp 15 juta s/d Rp 20 juta per kg, bahkan hingga Rp 100 juta per kg. Fantastik!
Menanam pohon penghasil gaharu dan menghasilkan banyak gubal diperlukan perawatan khusus, ilmu memadai, serta kajian akademis. Saat pohon gaharu berumur sekitar 5 tahun s/d 7 tahun, pohon tersebut perlu disuntik dengan jamur (inokulum) penghasil gaharu. Hingga kini, fusarium sp (dengan 8 spesies) adalah jamur penghasil gaharu paling cepat. Setiap pohon hanya memerlukan satu ampul jamur fusarium sp. Spesies inokulum teraktif yakni fusarium lateritium dan fusarium popullaria.
Identifikasi jamur akan dilokalisasikan dari spesies pohon penghasil gaharu yang berada di NTT, bukan diadopsi dari luar NTT. Jika tidak, maka pohon tersebut akan membusuk karena mendapat inokulasi jamur dari locus lain, yang bisa saja terinfeksi mikroba antarpulau, yang merusak produksi pohon itu sendiri. Kasus di Kalimantan tahun 2009 menjadi pelajaran berharga karena beberapa hektar perkebunan gaharu serentak membusuk lantaran pemiliknya mengimpor dan menginokulasi jamur dari Jawa, yang tidak sesuai dengan karakter pohon di pulau tersebut, walaupun jamur berspesies sama.
Terbentuknya gubal gaharu setelah pohon tersebut terinfeksi jamur tertentu, seperti fusarium sp. Akibat terinfeksi, maka pohon tersebut mengeluarkan getahnya yang sangat harum. Getah tersebut menggumpal dalam batang kayu. Setelah sekian lama, batang pohon menjadi gubal, yakni berwarna hitam pekat dan harum. Pohon yang tidak terinfeksi jamur fusarium sp misalnya, tidak akan menghasilkan gaharu.
Pemasarannya sangat mudah, karena banyak pembeli siap menjemput petani yang memiliki gaharu. Banyak eksportir berlomba mendapatkan gaharu dengan harga bersaing. Kini, gaharu yang sedang beredar di pasaran, lebih banyak berasal dari perburuan liar di hutan. Pencari gaharu terkadang tidak mampu membedakan kayu yang bergubal dan tidak bergubal. Karena itu, semua spesies aquilaria sp dan gyrinops sp ditebang tanpa sortasi. Akibatnya, populasinya terancam punah.
Dalam pertemuan ke-13 Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES Conference of Parties ke-13) di Bangkok, Thailand, 2-14 Oktober 2004, genus aquilaria sp telah dimasukkan dalam Appendix II. Artinya, pohon tersebut layak dilindungi, dibudidayakan, dan dilarang penebangan tanpa mengantongi surat izin dari CITES. Namun, karena tingginya nilai ekonomis, maka penebangan terhadapnya tak tercegah.
Mengingat tingginya nilai gaharu dan juga kelangkaannya, maka budidaya gaharu semakin mendesak. Upaya membuat hutan aquilaria sp dan gyrinops sp bisa dilakukan dengan mudah. Sebab tumbuhan kedua genus tersebut relatif mudah dikembangbiakkan dan toleran dengan lokasi ekstrim sekali pun.
Apabila pemilik lahan tidur di NTT, entah lahan kering atau lahan basah, mulai berbudi daya pohon penghasil gaharu, maka dalam kisaran 7 tahun s/d 9 tahun ke depan pemiliknya akan menghasilkan uang ratusan juta hingga miliaran rupiah. Dibandingkan komoditas lain, gaharu adalah peluang bisnis sangat menjanjikan hingga 12 abad mendatang. Karena satu pohon usia dewasa dapat menghasilkan uang puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Inilah 'berlian hijau dari Timur', harta karun yang terlupakan, yang mampu melahirkan pundi-pundi kemakmuran bagi orang NTT, yang selalu saja berkutat pada masalah yang sama, miskin, miskin dan miskin. Dalam kurun waktu 7 tahun s/d 9 tahun mendatang, tak ada lagi alasan demikian. Jika tidak, sebaiknya sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya dan dibuang ke lautan karena tidak bermanfaat bagi dirinya dan orang-orang yang dicintainya. Apalagi spesies gyrinops versteegii dan gyrinops rosbergii yang bermarkas di NTT sangat dicari negara Yaman karena aromanya sangat disukai mereka. Tak heran jikalau beberapa waktu lalu harganya mendekati Rp 100 juta per kg.
Hai, saudari-saudaraku orang NTT, kau apakan lahan kosong mahaluas, yang terbentang dari Manggarai Barat sampai Lembata, dari Sumba Barat Daya hingga Sumba Timur, dari Rote Ndao sampai Belu? "Berlian Hijau' yang dulu tercecer sudah di genggaman Anda dan siap didulang dan diasah. Selamat menuai 'berlian hijau' menuju kebebasan finansial (financial freedom), kebebasan ekonomi (economic freedom), dan kebebasan sosial (social freedom).*
Direktur EQUATOR Development Advisor,
Direktur Universe MUSIC EFFECT Consulting
Anggota Konsorsium 'BERLIAN HIJAU'
Gaharu Tree (also known as Wood of the Gods)
The Agarwood or Gaharu Tree (also known as Wood of the Gods) produces the raw material for incense, perfumes or fragrant and even alternative medicine.
The scientific name for Gaharu is Aquilaria and is also known as scented wood in the old days.
Usage of Gaharu
The “Wood of the Gods” has been traded and highly appreciated for thousands of years. This resinous wood is used as incense, for medicinal purposes, and pure resin in distilled form is used as perfume and perfume component.
Value of Gaharu
The value of first-grade Agarwood is extremely high. A whole range of qualities and products is on the market varying with geographical location and cultural deposition. Prices range from a few dollars per kilo for the lowest quality to over thirty thousand US dollars for top quality oil and resinous wood.
LATAR BELAKANG POKOK GAHARU
Pokok gaharu amat diminati kerana dapat menghasilkan aroma yang wangi dan menyenangkan apabila dibakar kayunya. Mengikut data yang dikeluarkan pada Persidangan Gaharu Dunia pertama di Vietnam terdapat 16 spesis dari genus Aquilaria yang mempunyai nilai komersil yang tinggi.
BERIKUT ADALAH JENIS-JENIS AGRAWOOD MENGIKUT RANKING
1. AQUILARIA SUBINTEGRA, Found at Thailand
2. AQUILARIA CRASSNA, Found at Thailand, Cambodia, Loas, Vietnam
3. AQUILARIA MALACCENSIS, Found at Thailand, India, Indonesia
4. AQUILARIA APICULATA, Found at Philippines
5. AQUILARIA BAILLONIL, Found at Thailand, Combodia, Loas, Vietnam
6. AQUILARIA BANEONSIS, Found at Vietnam
7. AQUILARIA BECCARIAN, Found at Indonesia
8. AQUILARIA BRACHYANTHA, Found at Malaysia
9. AQUILARIA CUMINGIANA, Found at Indonesia, Philippines
10.AQUILARIA FILARIA, Found at Nuegini, China
11.AQUILARIA GRANDIFLORA, Found at China
12.AQUILARIA HILATA, Found at Indonesia, Malaysia
13.AQUILARIA KHASIANA, Found at India
14.AQUILARIA MICROCAPA, Found at Indonesia, Malaysia
15.AQUILARIA ROSTRATA, Found at Malaysia
16.AQUILARIA SINENSIS, Found at China
Pokok gaharu hidup di kawasan tanah pamah sehingga ketinggian 750m dari aras laut dan memerlukan taburan hujan dan kelembapan yang tinggi. Gaharu digunakan dalam industri minyak wangi, produk perubatan, perubatan Ayurvedic, majlis keagamaan dan sebagainya.
Permintaan untuk gaharu semakin tinggi walaupun pengeluaran semakin berkurangan menyebabkan harganya semakin meningkat setiap tahun. Kebanyakan gaharu dieksport kepada. pemborong-pemborong di Singapura, Timur Tengah, Hongkong dan Taiwan.
Harganya boleh mencecah sehingga RM14-18 ribu sekilogram untuk gred Double Super. Malahan harga pasaran untuk minyak gaharu juga amat tinggi iaitu RM45 ribu/kg (kaedah penggredan kualiti kayu dan minyak masih belum dipiawaian dan bergantung kepada penjual dan pembeli).
Asia Tenggara mengeksport gaharu bernilai RM48.3 million ke Arab Saudi dan bekalan hanya memenuhi 20% daripada permintaan pasaran.
Buat masa ini, kebanyakkan gaharu dikeluarkan daripada hasil hutan dan amat terhad. Tanpa penanaman semula. spesis ini akan terus diancam kepupusan disebabkan aktiviti pengambilan gaharu.
Penanaman gaharu di Malaysia masih baru dan belum popular, tetapi di negara lain seperti Indonesia, Thailand dan Kemboja sudah lama diusahakan. Malah ia mendapat sokongan yang amat kuat daripada pihak agensi kerajaan mereka dari segi modal dan teknologi.
Keseluruhan pokok gaharu (batang, daun & akar) berguna dan dapat dikomensilkan.
Penanaman pokok gaharu sesuai dijalankan di tanah terbiar, kawasan rezab hutan simpan, kawasan pembalakan yang telah diterokai dan dijalankan secara pertanian hutan ladang dan diintegrasikan dengan pelbagai tanaman lain seperti herba dan tanaman komoditi.
Gaharu Commercial Production
The Forest Research Institute of Malaysia (Frim) began researching in the late 1990s following a surge in market demand for gaharu and is still refining its inoculation technique.
Based on anecdotes from Orang Asli collectors, researchers deliberately wound the tree trunk and indeed, gaharu was produced in varying degrees of formation, suggesting that it can be induced in standing Aquilaria trees by artificial means. But the grade obtained was inconsistent.
Over 100 Aquilaria malaccensis saplings were planted on a 1ha trial plot at the institute’s research station at Bukit Hari between 1998 and 2000. Artificial inducement was carried out after three years but the trees did not respond.
FRIM research co-ordinator Dr Chang Yu Shyun suspects that the trees were not mature enough to produce the resin.
"In nature, when a branch or twig is broken, the wound attracts bacteria, fungi and pathogens. In gaharu-producing species like Aquilaria, the tree will produce the resin to contain the infection from spreading, covering the wound and blackening the whitish heartwood. That’s how gaharu is produced.
"The challenge is to come out with high quality or the desired grade and predictable volume to make planting a viable solution to over-harvesting of wild species," says Chang.
The senior research officer in the biotechnology division says the research initially focused on inoculation trials but later expanded to cover the biological aspect, economic value, trade and chemical analysis of the fragrant resin.
Meanwhile, the Malaysian Institute of Nuclear Technology (Mint) has applied nuclear irradiation technology to mass-produce plantlets via tissue culture.
Seeds were screened for fast-growth and single-bole characteristics at the cellular level and lead researcher Dr Rusli Ibrahim claims he has found the secret formula after one year of experimentation.
"With this technique, we can fast-track the growing stage. Many plantation investors will benefit from this advancement."
Five hundred plantlets are growing in a trial plot near Dengkil. Rusli says two other research groups will look for suitable antagonists to induce the tree and the best extraction technique to yield oil of the desired chemical composition.
The hill within the MINT compound was recently discovered to host 157 matured Aquilaria trees. "At the end of the year, we intend to invite two United States experts to demonstrate to the growers the right way of inoculating these trees," says Rusli.
MINT has submitted four funding proposals under the Ninth Malaysian Plan to support the research work which will also include developing a standard grading system for woodchips and oil extracts.
How to inoculate Gaharu for its valuable resin?
Inoculation is a method was developed to induce the production of gaharu in young plantation trees. The trees are wounded or inoculated in a specific manner and the gaharu production as the natural defence response is supported by applying specific treatments. This method can ensure the sustainable production of gaharu in plantation trees.
The artificial inoculation process involves creating holes on a karas tree, filling them with fungal pathogen, and sealing them off with wax
Produced only by “sick” trees infected by fungi, this highly sought after fragrant resin has a cohort of uses, from aromatherapy to spa baths, decorative furniture, perfume, chopsticks, weapon holders, massage oil, joss sticks and items of medicinal value.
After four to six years, upon maturing, the trees will be injected with fungal pathogens to trigger gaharu production, and this can be harvested after five months to a year.
No comments:
Post a Comment